Friday, November 2, 2007

Jembatan Ampera - Lambang Kota Palembang


Kalau anda memasuki kota Palembang, pasti anda akan melewati sebuah jembatan besar yang di bawahnya terdapat sungai Musi. Ampera adalah sebuah jembatan di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Jembatan Ampera adalah tempat salah satu tempat bersejarah di kota Palembang. Sebenarnya ada banyak tempat bersejarah di kota Palembang yaitu :

  1. Benteng Kuto Besak
  2. Museum SMB II
  3. Jembatan Ampera
  4. Masjid Lawang Kidul
  5. Benteng Kuto Gawang
  6. Kamar Bola
  7. Al Munawar dan Kapten Arab
  8. Masjid Sungai Lumpur
  9. Kelenteng Soei Goiat Kiong
  10. Kampung Kapitan
  11. Masjid Kiai Merogan
  12. Kantor Ledeng
  13. Pulau Seribu
  14. Masjid Agung
  15. Masjid Al-Mahmudiyah (Masjid Suro)
  16. Monpera
  17. Museum Bala Putra Dewa
  18. Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS)

Namun, dalam hal ini saya akan mengulas tentang jembatan Ampera. Mungkin ada teman-teman kita yang belum tahu. Sambil mendengarkan alunan tari tanggai dari Pelambang, mari ikuti saya..he..he..seperti pembawa acara saja.



Here we go!!


Struktur Jembatan :

Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik.


Sejarah

Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang dari Seberang Ulu dan Seberang Ilir sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville. Tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan. Kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya. Pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang. Yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957 dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00). Biaya ini akan dihitung dari pampasan (kompensasi) perang Jepang. Proyek Musi. Jembatan Ampera mulai dibangun April 1962 dan selesai pada Mei 1965. Hingga akhir tahun 1970-an, warga Palembang menyebut Jembatan Ampera sebagai Proyek Musi.

Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).


Keistimewaan

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton ini, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Alasan lain karena sudah tidak ada kapal besar yang bisa berlayar di Sungai Musi. Pendangkalan yang semakin parah menjadi penyebab Sungai Musi tidak bisa dilayari kapal berukuran besar. Sampai sekarang, Sungai Musi memang terus mengalami pendangkalan.

Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.


Ke Depan


Jembatan Ampera sudah menjadi simbol kota Palembang. Karena pemerintah berusaha terus untuk menjaga dan merawat jembatan ini. Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.

Saat ini, berkembang wacana tentang pentingnya pembangunan Jembatan Musi III dan Musi IV, yang menghubungkan antara Seberang Ilir dan Seberang Ulu Palembang. Pembangunan dua jembatan dimaksudkan agar Jembatan Ampera tidak kelebihan beban kendaraan yang melintas, sekaligus untuk lebih membuka kawasan Seberang Ulu.

Harapan sebagian warga Palembang yang ingin melihat Jembatan Ampera seperti dulu, agaknya sulit terwujud. Apapun keadaan jembatan ampera sekarang, diharapkan semua masyarakat hendaknya dapat menjaga dan menggunakan sarana ini dengan baik hingga berguna bagi generasi kita dan yang akan datang.

1 comment:

Dessy Eka Pratiwi said...

Benar - benar mengagumkan Kota Palembang, perekonomian diatas air yang dapat berjalan sampai sekarang dan pemandangan Jembatan Ampera sebagai lambang palembang.