Wednesday, August 1, 2007

MEMBANGUN INDUSTRI DENGAN INTELLECTUAL CAPITAL

Beberapa lembaga riset lokal pada umumnya optimis bahwa perekonomian Indonesia 2007 akan makin tumbuh lebih tinggi dibanding 2006. Hasil penelitian beberapa lembaga riset juga mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia 2007 akan ditandai dengan antara lain oleh laju inflasi yang masih bisa dikendalikan, tingkat suku bunga tergolong rendah (suku bungan Sertifikat Bank Indonesia, SBI 1 bulan, di kisaran 10 persen), dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil.


Tingkat inflasi dan suku bunga serta stabilitas nilai rupiah, yang diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk menyerap tenaga kerja, ternyata tidak demikian kejadiannya. Thus, bisa dikatakan tidak terjadi pertumbuhan industri yang bisa memberikan ladang kerja baru kepada tenaga kerja produktif selama tahuh lalu. Dan ini adalah kenyataan yang harus dihadapi bersama oleh pemerintah dan rakyat.

Shifting produksi ke teknologi
Tidak dipungkiri bahwa sektor riil, pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh kestabilan industri nasional Sebaliknya, majunya industri ditengarai dengan penyertaan modal baik dalam negeri maupun luar negeri, berupa saham maupun kredit jangka menengah panjang.

Kita bisa mengacu pada keberhasilan Taiwan, sebuah negera kecil dengan penduduk tidak lebih dair 22 juta bisa membangun industri dalam negeri berbasih high-tech. Bahkan Amerika dan Japan harus mengakui keunggulan microhip dan memory buatan Taiwan. Juga dari keberhasilan pendahulunya Korea maupun Jepang. Pertumbungan ekonomi mereka didukung olah kekuatan industri nasional berbasis teknologi yang mampu bersaing di pasar global sehingga bisa membantu penambahan angka GDP secara signifikan.

Di dalam mengembangkan high-tech nasional, perlu dibuat peluang dan suasana kondusif bagi PMA untuk investasi industri di Indonesia. Kegiatan seperti ini sudah dilakukan, bahkan pemerintah sudah menyediakan kluster industri di beberapa daerah pembangunan. Hanya saja, semua industri tersebut di atas hanya sanggup menjadi industri berbasis produksi (production based industry). Sehingga lebih menguntungkan PMA industri, karena bisa leluasa memakai tenaga kerja produktif local dengan gaji murah dibanding standar UMR internasional. Kegagalan mendapatkan cipratan teknologi dari PMA industri utnuk pengembangan industri nasional, bisa disebabkan dari beberapa hal sebagai berikut :

Pertama, belum adanya cetak biru industri dan teknologi Indonesia jangka panjang. Kebijakan industri dan teknologi tidak masif, sehingga selalu silih berganti sesuai sistem kekuasaan. Pun demikian, tidak dilakukan proses sosialisasi yang sanggup memberikan arahan strategis industri dan teknologi nasional.

Kedua, meniru dari keberhasilan China, yaitu dengan membuat regulasi agar setiap industri memberikan sharing minimal 30 % dari asetnya baik berupa SDM maupun dana untuk kegiatan new development dan design produk dengan keharusan menyertakan tenaga kerja lokal. Sehingga ketika ada perusahaan asing yang mendirikan pabrik di Indonesia, harus memiliki komitmen paling tidak 30 % staf lokal untuk kegiatan R&D dan Design. Staf lokal ini ditempatkan di dalam negeri maupun di luar negeri tempat PMA berasal.


Industri berbasis knowledge society
Shifting industri berbasis produksi ke industri berbasis teknologi tidak tercapai apabil tidak didukung dengan intellectual capital yang memadai. Dengan kata lain, seperti disampaikan oleh begawa intelektual industri Peter F. Drucker, adalah kemampuan dalam membentuk masyarakat terpelajar atau intellectual capital society. Bila shifting industri berbasis teknologi ini didukung oleh pembentukan intelektualitas oleh masyarakat, maka akan terjadi proses spiral dalam transfer teknologi industri nasional. Sehingga dalam kurun waktu tertentu yang dibatasi oleh kebijakan pemerintah, industri akan bergerak maju secara serempak. Pergerakan industri ini akan didukung oleh kemajuan pengalaman intelektual tenaga kerja nasional (intellectual capital).

Tantangan dan harapan
Industri nasional tiak bisa berjalan tanpa dukungan pertumbuhan ekonomi makro yang sehat, terutama kestabilan dunia perbankan. Sebaliknya, peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB), tidak meningkat tanpa ada pertumbuhan sektor riil di sektor industri. Tarik ulur dua kutub ini tidak akan berhenti. Sehingga dibutuhkan komitmen sekaligus disiplin dalam pembentukan masyarakat industri yang sesuai dengan skala ekonomi, dalam koridor ‘scope’ ekonomi, dan seirama dengan kecepatan ekonomi nasional.

Ini menjadi tantangan sekaligus harapan, menyikapi kemelut meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang tidak didukung oleh penurunan inflasi dan penyerapan tenaga kerja. Selamat membangun era baru industri indonesia.



Referensi : Harian Ekonomi Neraca

No comments: