“ESQ (Emotional Spritual Quetient)’’
Apa itu ESQ?
Apa visi ESQ ?
Misi ESQ adalah menciptakan Indonesia Emas dan Dunia Emas. Untuk menciptakan visi Indonesia Emas dengan membentuk karakter peserta ESQ mengetahui jati dirinya, mengetahui Tuhannya, mengetahui orang tuanya menurut agamanya masing-masing. Di ESQ punya tujuh nilai dasar yaitu jujur, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, adil, peduli dan visioner. Nilai-nilai inilah yang ditanamkan kepada peserta ESQ. Bila sudah mendapatkan nilai-nilai ini, mudah-mudahan diharapkan para alumni bisa membentuk suasana saling menghormati, menyayangi, tidak ada lagi saling menjatuhkan, saling membenci antara satu agama dengan agama lain, satu suku dengan suku lain. ESQ bukan lembaga dakwah, kebetulan para trainer beragama Islam dan konsepnya diambil dari ajaran Islam. Jadi banyak materi yang disampaikan trainer berdasarkan Islam. Namun demikan, training terbuka bagi agama apa saja karena konsepnya bersifat universal. Banyak juga peserta dan alumni yang non muslim.
Mencapai Visi Emas
Bagaimana The ESQ Way 165 memandang dan menyikapi perubahan? Perubahan adalah sebuah keniscayaan, karenanya perubahan menjadi misi ESQ. Untuk melakukan perubahan, ESQ lebih mengarahkan pada perubahan motif dan nilai yang dianut masyarakat, bukan hanya langsung mengubah perilaku yang merupakan dampak dari nilai dan motif yang dianut. Caranya adalah dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang pusat orbit yang benar sehingga secara otomatis perilaku akan bergerak pada garis orbit secara harmonis.Diibaratkan, bangsa ini seperti tata surya yang mempunyai pusat orbit dan planet yang jumlahnya banyak dan bergerak pada garis orbit serta mengitari pusat orbit. Yang dilakukan ESQ adalah mengajak seluruh unsur bangsa ini untuk bergerak harmonis bersama-sama pada garis orbitnya dan mengitari pusat orbit yang benar yang sejatinya merupakan sebuah keniscayaan atau hukum alam.
ESQ tidak mengajarkan secara langsung “Jangan korupsi!”, misalnya. Tapi motif atau pusat orbitnya yang harus kita ubah karena korupsi merupakan perilaku yang keluar dari garis orbit, dan untuk memperbaikinya adalah dengan mengembalikannya ke pusat orbit, yaitu dari materialisme menuju spiritualisme sehingga korupsi akan terhenti dengan sendirinya.
Karenanya, sejak tahun 2001, ESQ mulai melakukan langkah nyata untuk mengubah masyarakat. Saat itu, masyakarat masih berorientasi pada kecerdasan intelektual. Bangsa ini memiliki banyak orang pintar dan sumber daya alam yang melimpah, namun bangsa ini terus mengalami krisis yang tak pernah terselesaikan. Bangsa ini sudah melakukan pergantian segalanya, termasuk sistem, namun perubahan yang diharapkan tak kunjung datang. Fenomena ini membuat ESQ berinisiatif untuk mengenalkan dua kecerdasan lain yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang harus ditekankan, didorong dan dikibarkan sehingga orientasi perbaikan tidak melulu pada perbaikan fisik namun juga emosi dan spiritual yang menjadi sumber penggerak. Pertama, kecerdasan spiritual harus menjadi pusat orbit yaitu manusia harus tahu apa nilai dan prinsip hidup yang benar. Kedua, manusia harus memiliki kecerdasan emosi, yaitu kemampuan untuk merasa apabila keluar dari garis orbit (kepekaan sosial). Ketiga, harus memiliki kecerdasan intelektual sehingga manusia berjalan pada garis orbitnya secara efektif dan efisien. Di tahun 2005, dengan upaya yang keras dan gigih, akhirnya masyarakat mulai menyadari dan mau menerima keberadaan ESQ.
Dengan mengenalkan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual, ESQ menghendaki perubahan masyarakat
Bagaimana mencapai visi Indonesia Emas 2020? Apabila kita melihat bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madani, maka ada tiga tahapan untuk membentuknya. Pertama, tahap spiritualitas ketika manusia dibentuk untuk menyadari siapa dirinya, untuk apa ia dilahirkan dan siapa Pencipta dirinya. Ini yang dinamakan sebagai era Gua Hira, ketika Surat Al ‘Alaq diturunkan. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakanmu dari segumpal darah...”. Kedua, tahap mentalitas ketika manusia dibangun mentalnya untuk memiliki komitmen spiritual yang disebut sebagai era Mekkah. Ketiga, tahap pembangunan sosial ekonomi ketika masyarakat diberdayakan secara ekonomi dan sosial yang disebut sebagai era Madinah. Secara sederhana, ketiga tahapan tersebut kompatibel dengan urutan pelaksanaan ibadah haji yaitu Wukuf (Gua Hira), Thawaf (Mekkah) dan Sa’i (Madinah).
Wukuf adalah ketika manusia menyadari nilai-nilai spiritual yakni saat ia mengenal siapa dirinya, untuk apa dilahirkan dan apa tujuan hidupnya. Thawaf adalah ketika manusia membangun komitmen spiritualnya. Sa’i adalah ketika manusia mengaplikasikan nilai-nilai dan komitmen spiritual secara teguh dan setia dalam langkah nyata.
Komitmen spiritual atau komitmen fisik (intelektual)?
Manakah yang lebih dahulu yang harus dipenuhi, komitmen spiritual atau komitmen fisik (intelektual)? Berdasarkan Piramida Kebutuhan Abraham Maslow yang selama ini dianut, maka kebutuhan fisik (Basic Need) menempati urutan pertama, kemudian diikuti Safety Need, Social Need, Self Esteem, dan Self Actualization, sehingga yang terjadi saat ini adalah manusia yang tidak pernah puas dengan segala kebutuhan dasarnya yang bersifat relatif dan terus berlomba memperebutkannya bahkan dengan menghalalkan segala cara, dan jarang yang berhasil mencapai tingkat aktualisasi diri. Akibatnya, yang lahir adalah manusia yang kehilangan jati diri spiritualnya (Spiritual Pathology)
Seperti kita ketahui, di akhir hayatnya, Abraham Maslow menyatakan bahwa piramida tersebut terbalik. Lalu, bagaimana piramida kebutuhan yang sebenarnya?
Dengan lugas, Tokoh Perubahan 2005 versi Republika tersebut menyatakan, bahwa urutan kebutuhan manusia sesungguhnya sudah diajarkan Nabi Ibrahim As dalam urutan pelaksanaan ibadah haji, 4500 tahun yang lalu, namun kita tidak pernah memahaminya. Urutan tersebut adalah:
1) Self-Actualization (aktualisasi diri), yaitu makna yang didapat saat Wukuf di Arafah ketika manusia menyadari siapa dirinya, dari mana asalnya, dan mau kemana dia. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakanmu dari segumpal darah...(QS 96: 1)).
2) Self Esteem (Pengakuan Diri), dijawab dengan lontar jumrah ketika manusia harus melontarkan segala kesombongan dan kebanggaan akan diri yang selama ini justru dikejar.
3) Social Need (Kebutuhan Sosial) dibangun dengan Thawaf, yaitu masyarakat yang memiliki nilai dan prinsip yang sama yang dilambangkan dengan pakaian Ihram, yang kemudian berputar bersama-sama mengelilingi satu nilai secara harmonis dan damai (Tauhid);
4) Safety Need (Kebutuhan Rasa Aman), yang dijawab dengan Sa’i, yaitu ketika manusia merasa takut justru harus terus bergerak dan bekerja seperti yang dilakukan Siti Hajar yang terus berlari dari bukit Shafa ke Marwah;
5) Akhirnya, Basic Need (Kebutuhan Dasar) terpenuhi dengan cara yang baik dan benar. Itulah air zam zam yang penuh berkah, yaitu hasil dari kemenangan fisik (IQ), yang didahului dengan kemenangan mental (EQ) dan spiritual SQ). Inilah jawaban Nabi Ibrahim As atas keresahan Abraham Maslow.
“Dan tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) suatu ilmu, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu (ilmu) yang benar dan paling baik penjelasannya”. (QS 25:33)
Perubahan Menuju
Perubahan adalah sebuah kepastian. Kapan pun dan di mana pun, pasti segalanya berubah.
Energi perubahan seperti sebuah pegas, apabila tekanannya besar akan mengakibatkan energi tekanan yang juga besar. Namun, permasalahannya adalah bagaimana kita mampu mengarahkan energi kinetik perubahan tersebut menuju ke arah yang benar. Dalam pekan-pekan terakhir, misalnya, kita bisa melihat energi perubahan tersebut mulai dari politik, ekonomi, bencana gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, gempa di Papua, banjir yang melanda daerah Pantai Utara Jawa, tanah longsor di Jember, demam berdarah, flu burung, antraks maupun formalin. Ini layaknya tekanan pada pegas yang mengakibatkan manusia terdorong untuk beradaptasi melakukan perubahan. Tekanan ini mengharuskan manusia
Bagaimana The ESQ Way 165 memandang dan menyikapi perubahan? Perubahan adalah sebuah keniscayaan, karenanya perubahan menjadi misi ESQ. Untuk melakukan perubahan, ESQ lebih mengarahkan pada perubahan motif dan nilai yang dianut masyarakat, bukan hanya langsung mengubah perilaku yang merupakan dampak dari nilai dan motif yang dianut. Caranya adalah dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang pusat orbit yang benar sehingga secara otomatis perilaku akan bergerak pada garis orbit secara harmonis.Diibaratkan, bangsa ini seperti tata surya yang mempunyai pusat orbit dan planet yang jumlahnya banyak dan bergerak pada garis orbit serta mengitari pusat orbit. Yang dilakukan ESQ adalah mengajak seluruh unsur bangsa ini untuk bergerak harmonis bersama-sama pada garis orbitnya dan mengitari pusat orbit yang benar yang sejatinya merupakan sebuah keniscayaan atau hukum alam.
ESQ tidak mengajarkan secara langsung “Jangan korupsi!”, misalnya. Tapi motif atau pusat orbitnya yang harus kita ubah karena korupsi merupakan perilaku yang keluar dari garis orbit, dan untuk memperbaikinya adalah dengan mengembalikannya ke pusat orbit, yaitu dari materialisme menuju spiritualisme sehingga korupsi akan terhenti dengan sendirinya.
Karenanya, sejak tahun 2001, ESQ mulai melakukan langkah nyata untuk mengubah masyarakat. Saat itu, masyakarat masih berorientasi pada kecerdasan intelektual. Bangsa ini memiliki banyak orang pintar dan sumber daya alam yang melimpah, namun bangsa ini terus mengalami krisis yang tak pernah terselesaikan. Bangsa ini sudah melakukan pergantian segalanya, termasuk sistem, namun perubahan yang diharapkan tak kunjung datang. Fenomena ini membuat ESQ berinisiatif untuk mengenalkan dua kecerdasan lain yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang harus ditekankan, didorong dan dikibarkan sehingga orientasi perbaikan tidak melulu pada perbaikan fisik namun juga emosi dan spiritual yang menjadi sumber penggerak. Pertama, kecerdasan spiritual harus menjadi pusat orbit yaitu manusia harus tahu apa nilai dan prinsip hidup yang benar. Kedua, manusia harus memiliki kecerdasan emosi, yaitu kemampuan untuk merasa apabila keluar dari garis orbit (kepekaan sosial). Ketiga, harus memiliki kecerdasan intelektual sehingga manusia berjalan pada garis orbitnya secara efektif dan efisien. Di tahun 2005, dengan upaya yang keras dan gigih, akhirnya masyarakat mulai menyadari dan mau menerima keberadaan ESQ.
Dengan mengenalkan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual, ESQ menghendaki perubahan masyarakat
Bagaimana mencapai visi Indonesia Emas 2020? Apabila kita melihat bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madani, maka ada tiga tahapan untuk membentuknya. Pertama, tahap spiritualitas ketika manusia dibentuk untuk menyadari siapa dirinya, untuk apa ia dilahirkan dan siapa Pencipta dirinya. Ini yang dinamakan sebagai era Gua Hira, ketika Surat Al ‘Alaq diturunkan. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakanmu dari segumpal darah...”. Kedua, tahap mentalitas ketika manusia dibangun mentalnya untuk memiliki komitmen spiritual yang disebut sebagai era Mekkah. Ketiga, tahap pembangunan sosial ekonomi ketika masyarakat diberdayakan secara ekonomi dan sosial yang disebut sebagai era Madinah. Secara sederhana, ketiga tahapan tersebut kompatibel dengan urutan pelaksanaan ibadah haji yaitu Wukuf (Gua Hira), Thawaf (Mekkah) dan Sa’i (Madinah).
Wukuf adalah ketika manusia menyadari nilai-nilai spiritual yakni saat ia mengenal siapa dirinya, untuk apa dilahirkan dan apa tujuan hidupnya. Thawaf adalah ketika manusia membangun komitmen spiritualnya. Sa’i adalah ketika manusia mengaplikasikan nilai-nilai dan komitmen spiritual secara teguh dan setia dalam langkah nyata.
Menilik Teori Pembentukan Karakter menurut FW Foerster (1869-1966), ada 4 ciri dasar pembentukan karakter, yaitu nilai, koherensi dan otonomi, serta keteguhan dan kesetiaan. Hal ini sudah dijelaskan 4500 tahun yang lalu dalam ritual haji yaitu Nilai yang dibangun saat Wukuf di Padang Arafah - Koherensi dan Otonomi yang dibentuk saat Thawaf di Mekkah - Keteguhan dan Kesetiaan yang dibangun dengan Sa’i di Madinah.
Jika teori di atas dijadikan sebagai pembanding dengan kondisi bangsa
Bagi seseorang yang melaksanakan ibadah haji, apabila ia tidak melaksanakan urutan ibadah haji dengan baik dan benar, maka akan terkena dam (denda/batal). Itulah yang terjadi dengan bangsa
Dalam konteks pembangunan masyarakat Madani, bangsa Indonesia diibaratkan langsung memasuki era Madinah tanpa melalui era Gua Hira untuk mengenal makna kehidupan tertinggi, dan tanpa melalui era Mekkah untuk membangun komitmen spiritual. Dampaknya, hingga saat ini, krisis multi dimensi terus melanda dan tak kunjung selesai, yang hanya menghasilkan masyarakat yang cerdas intelektual tapi rendah kecerdasan emosi dan rendah kecerdasan spiritualnya. Yang terjadi kemudian adalah seperti yang dikatakan oleh Thomas Hobbes: Homo Homini Lupus Belium Omnium Contra Omnes (manusia memakan manusia, yang kuat memakan yang lemah).
Ini berarti, Nilai - Komitmen - Keteguhan yang dbentuk melalui urutan Wukuf, Thawaf dan Sa’i adalah sebuah keniscayaan dalam membangun sebuah masyarakat Madani. Kesimpulannya, bangsa ini membutuhkan kecerdasan spiritual (SQ) untuk membangun nilai-nilai mulia dan luhur yang diperoleh ketika Wukuf di Padang Arafah; membutuhkan kecerdasan emosional (EQ) yang diperoleh saat Thawaf di Mekkah; membutuhkan kecerdasan intelektual (IQ) untuk mengaplikasikan nilai-nilai mulia dan komitmen spiritual tersebut dengan keteguhan seperti Siti Hajar yang berlari terus tak kenal lelah dari Bukit Shafa ke Marwah. Hasilnya, air zam zam yang yang tak pernah kering selama lebih kurang 4500 tahun. Itulah
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk jalan Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat” (QS An-Nashr : 1-3)
No comments:
Post a Comment