Thursday, November 8, 2007

Krisis Ekonomi Jilid 2 – Mungkinkah Terjadi ?

Pendahuluan


Mendengar namanya, tentu kita sering mendengar istilah krisis ekonomi. Walaupun orang tidak tahu definisi yang sebenarnya namun pada umumnya masyarakat sudah mengerti akan makna tersebut, apalagi semua masyarakat telah merasakan dampak yang ditimbulkan akibat krisis tersebut. Krisis ekonomi pertama yang melanda Indonesia, 10 tahun yang lalu, masih menyisakan kepahitan hidup. Bayangkan jika krisis ekonomi jilid 2 benar-benar terjadi. Apakah bangsa ini mampu menghadapinya? Krisis yang telah terjadi pada tahun 1998 dan membawa dampak yang besar ke segala bidang. Tidak hanya negara Indonesia, negara Thailand, Singapura, Malaysia, Korea Selatan dan sebagainya juga terkena krisis tersebut. Krisis ekonomi juga berdampak pada segala bidang, karena kegiatan ekonomi mempengaruhi aspek kegiatan yang dilakukannya.



Definisi


Menurut istilah krisis berarti genting, gawat atau berbahaya. Sedangkan krisis ekonomi dapat diartikan suatu kondisi perekonomian dimana tidak baiknya atau buruknya suatu kondisi perekonomian suatu negara. Krisis ekonomi juga disebut krisis finansial.


Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998 berpengaruh pada mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini. Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya.


Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia mempengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja.


Penyebab


Krisis ekonomi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi makro, faktor institusi keuangan, dan faktor nilai tukar. Faktor ekonomi makro misalnya cadangan devisa yang menipis, inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Tidak stabilnya kondisi finansial suatu negara seperti melemahnya perdangangan saham, krisis sektor perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) yang berdampak pada terus melemahnya ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara mitra dagangnya, terutama Jepang, Korea Selatan,Taiwan, RRC, dan India (Morgan Stanley, 2007), membuktikan betapa tidak stabilnya sistem ekonomi dunia saat ini.

Indikasi


Tanda-tanda krisis ekonomi jilid 2 telah dinyatakan oleh salah seorang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu, namun masih menjadi perdebatan. Pernyataan tersebut bukan hanya keluar dari Sri Mulyani, sejumlah pakar Bank Pembangunan Asia ketika bertemu dengannya di Jepang beberapa hari sebelumnya juga menyatakan hal itu. Meskipun berbagai pihak membantahnya, sebagian publik meyakini sinyalemen itu benar.


Tanda-tanda krisis yang disebut Sri Mulyani itu disebabkan derasnya arus modal masuk (capital inflow) portofolio. Kini taksiran seluruh dana asing yang masuk ke berbagai sektor keuangan di Indonesia mencapai Rp132 triliun. Perinciannya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia Rp45 triliun, surat utang negara Rp77 triliun, dan saham Rp10 triliun. Dana yang disebut terakhir itulah yang dikhawatirkan kapan saja dengan cepat bisa terbang lagi ke luar. Sudah pasti arus dana keluar itulah yang bakal mengganggu perekonomian Indonesia. Itu memang sesuatu yang amat mungkin terjadi.


Tiga hal penting yang mengingatkan dunia bahwa krisis mulai menghantui sekarang ini adalah pertama harga minyak yang terus meroket dan diperkirakan pada Desember menembus US$100/barel. Kedua, nilai tukar dolar yang terus merosot sehingga barang-barang ekspor tidak kompetitif lagi. Dan terakhir adalah krisis kredit macet di sektor perumahan Amerika Serikat yang menciutkan nyali bank untuk menyalurkan kredit. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan diperkirakan melambat dari perkiraan di atas 5% menjadi sekitar 4,2%.


Harga saham yang rontok di berbagai bursa dunia, termasuk Jakarta, juga adalah isyarat bahwa perekonomian global masih sangat rentan krisis.


Sidang tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington, pekan lalu, mengingatkan bahaya krisis baru. Karena itu, negara-negara diminta menempuh kebijakan yang mampu menghadang krisis. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan diperkirakan melambat dari perkiraan di atas 5% menjadi sekitar 4,2%.

Dampak


Harga minyak yang terus meroket dan melemahnya dolar mengakibatkan ekspor Indonesia kehilangan daya saing karena terlalu mahal. Harga minyak yang melambung tanpa kendali mengakibatkan defisit APBN meningkat tidak tertahankan dan tidak terpikulkan. Bila nanti harga menyentuh US$100/barel, subsidi APBN yang sekarang berkisar pada Rp50 triliun akan membengkak dua kali lipat.


Kenaikan harga minyak yang terus menerus itu juga mengakibatkan harga emas naik. Pasar emas menjadi lemah, orang mulai malas untuk membeli atau menjual emas. Padahal sebelumnya pasar emas sangat bergairah.

Karena tidak terpikulkan, pemerintah mau tidak mau menaikkan lagi harga BBM di dalam negeri. Kebijakan seperti itu di tengah situasi perekonomian global yang juga lesu akan menimbulkan dampak yang mematikan bagi perekonomian nasional.


Nah, rontoknya harga saham di bursa dunia awal pekan ini adalah sirene yang kian nyaring bahwa krisis ekonomi global sedang menghantui kita. Apa yang terjadi kemudian telah sama kita ketahui. Perusahaan di dalam negeri rontok, rupiah hancur, dan pada tahun 1998 pemerintahan Soeharto ambruk.



Antisipasi


Dari pengalaman tahun 1998, harusnya Indonesia mengambil pelajaran dari krisis yang telah menimpa. Antisipasi yang dilakukan pemerintah sangat lamban terlihat dewasa ini. Di tengah harga minyak yang bertahan di atas US$70 sejak Juli, pemerintah menetapkan US$60/barel sebagai patokan asumsi harga minyak dalam APBN 2008. Bahkan sekarang ketika harga mulai menyentuh US$90 pemerintah menganggap asumsi dan kebijakan perekonomian yang digariskan selama ini sudah berada dalam trek yang benar. Itu penegasan Menko Keuangan Boediono yang berulang kali didengar akhir-akhir ini.


Paket terapi yang populer menurut Bank Indonesia, tetapi tidak menyentuh akar masalah adalah menjamin likuiditas valas di pasar, mempertahankan suku bunga bank sentral pada level konservatif, dan tidak mengusik modal asing jangka pendek secara represif .


Tim Ekonomi Pemerintah menyatakan, Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi jika mampu mengatasi tiga hal, yaitu menjaga indikator makro, institusi keuangan yang kuat, dan tidak ada pematokan (peg) nilai tukar.


Sinyalemen Menkeu tentang tanda-tanda krisis jilid 2 adalah sebuah peringatan penting. Ia merangsang pemerintah dan BI, juga kalangan perbankan pada umumnya, untuk berhati-hati dalam mengelola keuangan. Itu agar, jika krisis benar-benar terjadi, pemerintah punya daya tangkal lebih manjur jika dibandingkan pada 1997.


Memang ironis, dulu bangsa ini dihajar krisis karena ketiadaan uang. Kini terancam krisis karena uang melimpah. Bayangkan, ada kemungkinan dana yang ditempatkan di SBI tahun depan mencapai Rp300 triliun. Ini artinya, Bank Indonesia harus membayar bunga yang tidak kecil yang bisa berimplikasi pada stagnasi ekonomi.


Karena itu, usaha yang dilakukan pemerintah untuk menggerakkan sektor riil agar tumbuh, tidak ada pilihan lain kecuali pemerintah melaksanakan komitmen sejumlah paket kebijakan investasi yang berkali-kali dipidatokan. Pembangunan infrastruktur, perizinan yang tidak berbelit, kepastian hukum, membasmi pungutan liar, dan reformasi birokrasi jangan hanya menjadi retorika, tetapi harus dilaksanakan.



UKM di Tengah Krisis


Usaha kecil dan menengah (UKM) yang sering disebut Usaha Kecil Micro atau Micro Finance merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan dalam ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001).


Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting keberadaan UKM (Berry, dkk, 2001). Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar. Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.


Sementara itu, berdasarkan data PDRB, krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut). Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah, hanya Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi. Pada tahun tersebut, seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).


Sejak terjadi krisis ekonomi 1997, UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Data yang ada menunjukkan bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati. Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.


Dari analisis dapat disimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2000, UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa, baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya konsentrasi spasial UKM tersebut sejak krisis ekonomi melanda Indonesia.



Permasalahan-Permasalahan


Banyak sekali permasalahan-permasalahan yang menjadi hal mendasar dalam mengatasi krisis ekonomi. Persoalan terbesar perekonomian Indonesia adalah lambatnya untuk tidak mengatakan tidak sama sekali ekspansi investasi, terutama investasi langsung modal asing. Pasar bergairah, terutama di pasar modal, tetapi tidak berkontribusi bagi ekspansi perekonomian.


Salah satu permasalahan kita adalah mengenai kenaikan harga minyak dunia dan sangat berimbas terhadap produksi minyak dalam negeri. Menteri keuangan berasumsi kalau produksi minyak mentah adalah 1 juta barrel per hari atau di atas juta barrel per hari maka masalah kenaikan harga minyak dapat diatasi, tapi kalau lihat fakta bahwa produksi minyak mentah kita itu actual nya tidak bisa mencapai seperti yang dianggarkan di APBN itu amat sangat berbahaya karena penurunan penurunan produksi katakanlah 50ribu barrel per hari, itu bisa berdampak pada tambahan defisit APBN paling tidak 10 trilliun.


Persoalan krusial adalah meningkatnya konsumsi BBM di dalam negeri di tengah produksi minyak mentah nasional yang terus menurun. Berbagai insentif eksplorasi tidak kunjung juga menggelorakan minat swasta mencari dan menemukan sumur baru. Sementara itu, potensi di Cepu yang diperkirakan mencapai 150 ribu barel per hari hingga sekarang tidak bisa dimanfaatkan karena pertikaian yang belum juga beres antara Exxon dan Pertamina. Pertikaian itu semakin rumit karena politikus ikut meramaikan pertarungan kepentingan.


Menaikkan produksi minyak mentah nasional bukan merupakan hal yang mudah, karena perlu proses panjang. Dalam data produksi minyak nasional selama 7 tahun terakhir menunjukkan tidak ditemukan cadangan minyak baru di Indonesia, sehingga produksi minyak nasional hanya bergantung pada sejumlah sumber yang produksinya terus menurun.


Antisipasi yang bisa dilakukan ditambahkan salah satunya adalah mengurangi biaya karena biaya yang dibayar negara dalam produksi minyak mentah ini terus meningkat, padahal produksi semakin menurun.


Kalau pemerintah bisa menekan cost recovery ini, itu akan banyak membantu, terlebih auditor negara seperti BPK itu menemukan dalam auditnya bahwa ada potensi kerugian yang menyangkut cost recovery dalam BP Migas yang jumlahnya hampir 2 milliar dollar. Kalau pemerintah bisa menghemat dalam cost recovery ini akan sangat bagus.


Cara kedua adalah mengurangi konsumsi BBM, dengan kebijakan yang salah satunya adalah konversi minyak tanah ke LPG. Ini perlu dipercepat, termasuk juga control terhadap konsumsi BBM dalam negeri agar volume pemakaian BBM bisa ditekan.


Juga tentunya pemerintah mendorong kalangan industri untuk mengkonversi pemakaian energi yang mereka pakai selama ini dari BBM misalnya batubara, pabrik semen misalnya pindah ke batubara bahkan kita dengar juga LNG di Kalimantan Timur juga sudah siap menggunakan batubara daripada BBM, juga banyak industri tekstil ya yang biasa menggunakan BBM untuk menggunakan batubara. Pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur batubara dan sebagainya itu sehingga pemakaian BBM untuk industri itu bisa bergeser ke non minyak bumi.


Masalah lainnya adalah sulitnya sektor riil berkembang. Telah lama menjadi keluhan banyak kalangan bahwa sektor riil sulit bergerak karena perbankan tidak mengucurkan kredit. Dan bila itu terus berlangsung, ekonomi nasional akan berada dalam bahaya. Tidak kurang dari pemerintah pun mendorong perbankan agar ikut mendukung pemerintah mengatasi persoalan tersebut. Perbankan harus segera mengucurkan kredit. Kredit harus dikucurkan di sektor riil yang lebih banyak menyerap tenaga kerja.


Kucuran kredit di sektor konsumsi memang menunjukkan perbankan bukan lembaga yang sama sekali tidak sensitif. Ia bereaksi terhadap kritik. Tetapi, sulit mengatakan perbankan telah menjadi pionir bagi pulihnya perekonomian nasional.


Iklim makro juga tidak menunjang tumbuhnya sistem perekonomian yang sehat dan wajar. Dampaknya perbankan pun berorientasi jangka pendek dan cenderung mencari aman. Birokrasi, politikus, dan penegak hukum juga tidak mendukung tumbuhnya iklim itu. Dengan demikian, jaminan bagi kepastian usaha juga sangat memprihatinkan. Situasi itu tentu saja harus diakhiri. Kalau ketidakseimbangan itu terus berlangsung, perekonomian nasional tidak pernah akan pulih dan berkembang.

Friday, November 2, 2007

Jembatan Ampera - Lambang Kota Palembang


Kalau anda memasuki kota Palembang, pasti anda akan melewati sebuah jembatan besar yang di bawahnya terdapat sungai Musi. Ampera adalah sebuah jembatan di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Jembatan Ampera adalah tempat salah satu tempat bersejarah di kota Palembang. Sebenarnya ada banyak tempat bersejarah di kota Palembang yaitu :

  1. Benteng Kuto Besak
  2. Museum SMB II
  3. Jembatan Ampera
  4. Masjid Lawang Kidul
  5. Benteng Kuto Gawang
  6. Kamar Bola
  7. Al Munawar dan Kapten Arab
  8. Masjid Sungai Lumpur
  9. Kelenteng Soei Goiat Kiong
  10. Kampung Kapitan
  11. Masjid Kiai Merogan
  12. Kantor Ledeng
  13. Pulau Seribu
  14. Masjid Agung
  15. Masjid Al-Mahmudiyah (Masjid Suro)
  16. Monpera
  17. Museum Bala Putra Dewa
  18. Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS)

Namun, dalam hal ini saya akan mengulas tentang jembatan Ampera. Mungkin ada teman-teman kita yang belum tahu. Sambil mendengarkan alunan tari tanggai dari Pelambang, mari ikuti saya..he..he..seperti pembawa acara saja.



Here we go!!


Struktur Jembatan :

Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik.


Sejarah

Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang dari Seberang Ulu dan Seberang Ilir sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville. Tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan. Kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya. Pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang. Yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957 dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00). Biaya ini akan dihitung dari pampasan (kompensasi) perang Jepang. Proyek Musi. Jembatan Ampera mulai dibangun April 1962 dan selesai pada Mei 1965. Hingga akhir tahun 1970-an, warga Palembang menyebut Jembatan Ampera sebagai Proyek Musi.

Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).


Keistimewaan

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton ini, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Alasan lain karena sudah tidak ada kapal besar yang bisa berlayar di Sungai Musi. Pendangkalan yang semakin parah menjadi penyebab Sungai Musi tidak bisa dilayari kapal berukuran besar. Sampai sekarang, Sungai Musi memang terus mengalami pendangkalan.

Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.


Ke Depan


Jembatan Ampera sudah menjadi simbol kota Palembang. Karena pemerintah berusaha terus untuk menjaga dan merawat jembatan ini. Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.

Saat ini, berkembang wacana tentang pentingnya pembangunan Jembatan Musi III dan Musi IV, yang menghubungkan antara Seberang Ilir dan Seberang Ulu Palembang. Pembangunan dua jembatan dimaksudkan agar Jembatan Ampera tidak kelebihan beban kendaraan yang melintas, sekaligus untuk lebih membuka kawasan Seberang Ulu.

Harapan sebagian warga Palembang yang ingin melihat Jembatan Ampera seperti dulu, agaknya sulit terwujud. Apapun keadaan jembatan ampera sekarang, diharapkan semua masyarakat hendaknya dapat menjaga dan menggunakan sarana ini dengan baik hingga berguna bagi generasi kita dan yang akan datang.